PEMBUATAN BIOETANOL DARI SINGKONG SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKAR TERBAHARUKAN
Pendahuluan
Energi merupakan salah satu hal yang sangat penting di dunia. Banyak negara berperang untuk mendapat atau mempertahankan sumber-sumber energi tersebut. Energi telah menjelma sebagai roh bagi suatu negara. Jika tidak ada lagi sumber energi di suatu negara, bisa dipastikan negara tersebut akan mati. Saat ini sumber energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya sekarang, bahan bakar fosil merupakan sumberdaya yang tak terbaharukan dan suatu saat pasti habis.
Selama ini, lebih dari 90% kebutuhan energi dunia dipasok dari bahan bakar fosil. Jika eksploitasi terus berjalan dengan angka saat ini, diperkirakan sumber energi ini akan habis dalam setengah abad mendatang. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan manusia kelak jika bahan bakar fosil yang menjadi sumber energi utama umat manusia selama lebih dari dua ratus tahun habis begitu saja. Untuk itu, banyak negara mulai mengembangkan alternatif sumber energi baru yang terbaharukan, ramah lingkungan, dan relatif mudah untuk dibuat.
Salah satu alternatif pengganti bahan bakar fosil adalah dengan bioenergi seperti bioetanol. Bioetanol adalah bahan bakar nabati yang tak pernah habis selama mentari masih memancarkan sinarnya, air tersedia, oksigen berlimpah, dan kita mau melakukan budidaya pertanian.
Sumber bioetanol dapat berupa singkong, ubi jalar, tebu, jagung, sorgum biji, sorgum manis, sagu, aren, nipah, lontar, kelapa dan padi. Sumber bioetanol yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah singkong (Manihot esculenta). Singkong merupakan tanaman yang sudah dikenal lama oleh petani Indonesia, walaupun bukan tanaman asli Indonesia. Singkong pertama kali didatangkan oleh pemerintah kolonial belanda pada awal abad ke-19 dari Amerika Latin. Karena sudah dikenal lama oleh petani Indonesia, pengembangan singkong untuk diolah menjadi bahan baku bioetanol tidak terlalu sulit. Saat ini singkong banyak diekspor ke AS dan Eropa dalam bentuk tapioka. Di negara negara tersebut, singkong dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan alkohol. Tepung tapioka juga digunakan dalam industri lem, kimia dan tekstil. Indonesia adalah penghasil singkong keempat di dunia. Dari luas areal 1,24 juta hektar tahun 2005, produksi singkong Indonesia sebesar 19,5 juta ton.
Di dalam negeri, singkong biasanya hanya digunakan sebagai pakan ternak dan bahan pangan tradisional setelah beras dan jagung. Karena itu, harga singkong sangat fluktuatif dan tidak memberikan keuntungan yang memadai bagi si petani. Pengembangan bioetanol diharapkan dapat menjadi solusi sumber energi terbaharukan dan dapat meningkatkan pendapatan petani singkong. Dengan langkah ini, harga singkong akan menjadi stabil sehingga memberikan keuntungan yang cukup bagi petani. Masalah krisis energi masa dapan yang terbaharukan pun akan terselesaikan dan membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri energi.
Mengenal Singkong
Singkong merupakan tanaman pangan dan perdagangan (crash crop). Sebagai tanaman perdagangan, singkong menghasilkan starch, gaplek, tepung singkong, etanol, gula cair, sorbitol, MSG, tepung aromatik, dan pellet. Sebagai tanaman pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di dunia. Singkong merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan tanaman lain perharinya.
No. | Jenis tanaman | Nilai Kalori (kal/ha/hari) |
1 | Singkong | 250 x 103 |
2 | Jagung | 200 x 103 |
3 | Beras | 176 x 103 |
4 | Sagu | 114 x 103 |
5 | Shorgum | 110 x 103 |
Tabel 1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat
Selain itu, singkong memiliki potensi yang cukup bagus sebagai tanaman bahan baku etanol.
No | Jenis Tanaman | Hasil Panen(Ton/ha/tahun) | Etanol (liter/ha/tahun) |
1 | Jagung | 1-6 | 400-2.500 |
2 | Singkong | 10-50 | 2.000-7.000 |
3 | Tebu | 40-120 | 3.000-8.500 |
4 | Ubi jalar | 10-40 | 1.200-5.000 |
5 | Sorgum | 3-12 | 1.500-5.000 |
6 | Sorgum manis | 20-60 | 2.000-6.000 |
7 | Kentang | 10-35 | 1.000-4.500 |
8 | Bit | 20-100 | 3.000-8.000 |
Tabel 2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol
Tabel 2 menunjukkan bahwa tebu sebagai tanaman penghasil etanol dengan produktifitas tertinggi dan disusul oleh singkong. Bit tidak dipertimbangkan karena tidak dapat berproduksi optimal di Indonesia sehingga tidak ekonomis. Keunggulan singkong dibanding tebu adalah masa panen singkong relatif lebih singkat dan biaya produksi lebih murah.
Singkong masuk dalam kelas Dicotiledoneae dan famili Euphorbiaceae. Klasifikasi tanaman singkong sebagai berikut.
Kelas : Dicotiledoneae
Sub Kelas : Arhichlamydeae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Sub Famili : Manihotae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot esculenta
Brazil merupakan pusat asal sekaligus pusat keragaman singkong. Singkong tumbuh di daerah dengan suhu rata-rata lebih dari 18oC dengan curah hujan di atas 500 mm/tahun. Produktifitas singkong di tingkat petani adalah 14,3-18,8 ton/ha, walaupun data dari pusat penelitian melaporkan bahwa produktifitasnya bisa mencapai 30-40 ton/ha. Singkong sebagai bahan Fuel Grade Ethanol (FGE) disarankan varietas yang memiliki sifat sebagai berikut : berkadar pati tinggi, potensi hasil tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik, dan fleksibel dalam usaha tani dan umur panen.
Masalah Energi di Indonesia
Permasalahan energi di Indonsia sama seperti yang dihadapi dunia. Jika tidak ada penemuan ladang minyak dan kegiatan eksplorasi baru, cadangan minyak di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 18 tahun mendatang. Sementara itu, cadangan gas cukup untuk 60 tahun dan batu bara sekitar 150 tahun. Kapasitas produksi minyak Indonesia mengalami penurunan jika dibandingkan dengan dekade 1970-an yang masih sekitar 1,3 juta barel per hari. Kini, kapasitas produksi minyak Indonesia hanya 1,070 juta barel per hari.
Disamping karena lapangan yang sudah tua, penurunan kapasitas produksi minyak mentah Indonesia juga karena penemuan cadangan minyak baru yang terus menurun. Hal tersebut juga menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor minyak mentah sampai sekarang. Setidaknya, ada tiga jalan keluar dari hal ini. Pertama, mencari ladang minyak baru; kedua, menggunakan energi secara efisien; dan ketiga, mengembangkan sumber energi terbaharukan, seperti sinar matahari, panas bumi, air, angin, dan bahan bakar nabati (biofuel). Hal yang paling mungkin dilakukan sekarang adalah mengembangkan sumber energi terbaharukan, contohnya bioetanol dari singkong.
Keunggulan Etanol Dibandingkan Bensin
Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan dua ancaman serius:
(1) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasinya;
(2) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajat kesehatan manusia.
Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan hidrokarbon yang tidak terbakar, serta unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi ataupun pembawa energi yang lebih terjamin keberlanjutannya dan lebih ramah lingkungan.
Penggunaan etanol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di AS dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar etanol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40% secara nasional. Di AS, bahan bakar relatif murah, E85, yang mengandung etanol 85% semakin populer di masyarakat dunia.
Etanol bisa digunakan dalam bentuk murni atau sebagai campuran untuk bahan bakar bensin maupun hidrogen. Interaksi etanol dengan hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi sel bahan bakar ataupun dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) konvensional.
Terdapat beberapa karakteristik internal etanol yang menyebabkan penggunaan etanol pada mesin lebih baik daripada bensin. Etanol memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7 . Angka tersebut (terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh bensin walaupun setelah ditambahkan aditif tertentu. Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88 dan umumnya motor octane lebih rendah dari pada research octane. Untuk rasio campuran etanol dan bensin mencapai 60:40%, tercatat peningkatan efisiensi hingga 10%.
Etanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang berikatan di dalam molekul etanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara dan bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3 – 19 vol% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 – 7.6 vol%), pembakaran campuran udara dan bahan bakar etanol menjadi lebih baik. Hal ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara dan bensin, yakni sekitar 4%. Etanol juga memiliki panas penguapan yang tinggi, yakni 842 kJ/kg (Giancoli, 1998). Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan ethanol lebih besar dibandingkan bensin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran etanol dibandingkan dengan bensin.
Proses produksi Bio-etanol
Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu, jagung dan sagu untuk menghasilkan bio-etanol dilakukan dengan proses urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan a-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4-5% dari berat total.
Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu. Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi, sedangkan tahap sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan penelitian, penggunaan a-amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi a-amilase 1.75 U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi 48 jam.
Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987). Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC.
Persamaan Reaksi KimiaC6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagaiGula (glukosa) → Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + Energi (ATP)
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air adalah 100oC (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu continuous-feed distillation column system dan pot-type distillation system. Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe destilasi vakum yang menggunakan tekanan rendah dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom adalah 35oC dan 20oC di bagian atas.
Enzim yang digunakan pada pembuatan sirup glukosa dimulai dari tahap likuifikasi hingga sakarifikasi adalah sebagai berikut:
α- Amilase
Menurut Judoamidjojo et al. (1989), α-amilase termasuk enzim pemecah dari dalam molekul, bekerja menghidrolisa dengan cepat ikatan α-1,4 glukosida pati yang telah mengalami gelatinisasi. Pada proses likuifikasi, α-amilase akan memecah ikatan α-1,4 pada amilosa dan menghasilkan dekstrin. Aktivitas α- amilase pada amilopektin menghasilkan oligosakarida dengan jumlah monomer dua sampai enam.
Mekanisme kerja enzim ini pada amilosa dibagi dalam dua tahap, yaitu:
(1) Degradasi secara cepat molekul amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Pada tahap pertama ini, kekentalan menurun dengan cepat.
(2) Pembentukan glukosa dan maltosa dengan laju lebih lambat tidak secara acak. Degradasi α-amilase pada amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin. Sumber enzim α-amilase sangat beragam, mulai dari tanaman, jaringan mamalia sampai mikroorganisme. Saat ini sumber enzim α-amilase yang paling potensial dan banyak digunakan di industri berasal mikroorganisme. Salah satu bakteri penghasil enzim α-amilase adalah yang berasal dari spesies Bacillus. Bakteri ini menghasilkan enzim yang tahan terhadap panas (termostabil).
Amiloglukosidase
Enzim amiloglukosidase atau disebut juga glukoamilase (1,4 glucan glucohydrolase, EC. 3.2.1.3) mengkatalis pemotongan gugusan glukosa dari ujung non reduksi dari polimer pati, hasil akhir dari hidrolisa adalah senyawa glukosa (Schwimmer, 1981). Enzim amiloglukosidase dapat menghidrolisis ikatan α-1,6 glukosida namun reaksinya berlangsung lambat. Aktivitas optimal dari enzim amiloglukosidase sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu. Secara komersial, enzim amiloglukosidase diproduksi dari Aspergillus niger dan Rhizopus sp. Amiloglukosidase dapat menghidrolisa pati sampai mencapai DE 95 – 98 persen. Produk hidrolisa yang dihasilkan bersifat lebih manis, namun cenderung membentuk kristal disebabkan kandungan dekstrosanya yang tinggi.
Produksi Bioetanol Berbasis Kemasyarakatan
Sampai saat ini produksi bioetanol dalam bentuk FGE (Fuel Grade Etanol) besar dilakukan oleh pabrik berskala besar. Apakah masyarakat hanya sekedar menjadi penonton dan menikmati bioetanol yang diproduksi oleh para industriawan besar ? apakah rakyat hanya sekedar menjadi petani singkong penghasil bioetanol ? yang selanjutnya menyetor singkong sebagai bahan baku ke pabrik etanol milik para konglomerat ? apakah tidak mungkin bioetanol menjadi bagian dari desa mandiri energi ?
Jawabannya adalah tidak. Fakta menunjukkan, masyarakat sebenarnya dari dulu sudah menguasai teknik pembuatan bioetanol dari proses fermentasi. Sejak puluhan tahun lalu masyarakat telah melakukan proses penyulingan untuk mendapatkan minuman berkadar etanol tinggi berskala kecil.
Sebenarnya ada teknik pangolahan singkong yang sederhana untuk dijadikan bioetanol. Proses ini cukup mudah diterapkan pada masyarakat dan hanya membutuhkan alat yang sederhana. Proses pengolahan ubi kayu segar berkadar pati 28%, yang ditargetkan menghasilkan 7 liter bioetanol berlangsung sebagai berikut :
a) Kupas kasar ubi kayu segar sebanyak 50 Kg. Cuci dan giling dengan mesin penggiling listrik, mesin bensin, ataupun diesel.
b) Saring hasil penggilingan untuk memperoleh bubur singkong.
c) Masukkan bubur kayu ke dalam drum yang terbuka penuh bagian atasnya.
d) Tambahkan air 40-50 liter dan aduk sambil dipanasi diatas perapian.
e) Tambahkan 1,5 ml enzim alfa-amilase. Panaskan selama 30-60 menit pada suhu sekitar 90o C.
f) Dinginkan hingga suhu menjadi 55-60o C.
g) Tambahkan 0,9 ml enzim gluko-amilase
h) Jaga temperatur pada kisaran 55-60o C selama 3 jam, lalu dinginkan hingga suhu di bawah 35o C.
i) Tambahkan 1 gr ragi roti, urea 65 gr, dan NPK 14 gr. Biarkan selama 72 jam dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat agar gas CO2 yang terbentuk bisa keluar.
j) Pindahkan cairan yang yang mengandung 7-9 % bioetanol itu ke dalam drum lain yang didisain sebagai penguap (evaporator).
k) Masak di atas perapian hingga uapnya keluar menuju alat destilasi. Nyalakan aliran air di kondensator (pengembun) uap bioetanol.
l) Tahan temperatur bagian atas kolom destilasi pada suhu 79o C ketika cairan bioetanol mulai keluar. Fraksi bioetanol 90-95% akan berhenti mengalir secara perlahan-lahan.
Kelemahan dari cara pembuatan bioetanol ini adalah relatif memakan waktu yang cukup lama sehingga kapasitas produksi untuk skala masyarakat relatif kecil. Tetapi, jika banyak masyarakat menjadi bagian integral dalam kegiatan produksi bahan bakar ini, hasil yang didapat akan berlipat ganda sehingga akan menekan konsumsi bahan bakar fosil.
Pengolahan yang dilakukan sendiri oleh masyarakat mendorong terbentuknya masyarakat yang mandiri energi, setidaknya untuk keadaan-keadaan yang mendesak. Masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia tidak harus selalu menggantungkan kiriman bahan bakar dari Pertamina karena mereka punya alternatif bahan bakar lain. Dengan begitu, krisis energi yang sewaktu-waktu bisa melanda Indonesia karena cadangan bahan bakar fosil yang makin menipis bisa diantisipasi dengan hal ini.
Bioetanol dan Tingkat Penghasilan Petani Singkong
Bioetanol yang diproduksi dari skala kemasyarakatan hingga industri yang besar pasti membutuhkan bahan baku singkong dari petani. Singkong yang dianggap sebagai komoditi inferior jika dibandingkan dengan beras dan jagung, harganya cenderung fluktuatif karena masa tanam dan masa panen petani hampir bersamaan. Pada panen raya, harga singkong dapat anjlok sehingga sangat merugikan petani. Seringkali hal ini membuat petani membiarkan singkong dikebunnya membusuk karena ongkos panen dan angkutan ke pasar lebih besar dibanding hasil penjualan singkong tersebut. Kondisi inilah yang membuat para petani singkong banyak yang miskin.
Dengan adanya usaha produksi bioetanol berskala kemasyarakatan dan industri besar, diharapkan banyak singkong yang akan terserap sehingga harganya akan lebih kompetitif. Adanya pengaturan masa tanam dan panen juga diperlukan agar suplai bahan baku ke industri bioetanol tersedia cukup secara kontinu. Dengan demikian, petani singkong akan lebih sejahtera dan Indonesia akan mempunyai solusi energi alternatif yang terbaharukan.
Prospek pengembangan
Selain berupa bioetanol murni, bioetanol dapat dicampur dengan bensin sehingga dihasilkan gasohol. E-10 merupakan contoh gasohol yang telah digunakan di Indonesia, yaitu gasohol yang mempunyai kadar etanol 10%. Dengan kadar etanol 10% ini dapat direduksi kadar CO yang dibuang sebanyak 40% lebih banyak dari pertamax dan premium. Berdasarkan percobaan BPPT, E10 hanya menghasilkan residu CO 0,31 gram per kilometer. Pada saat yang sama premium dan pertamax masing-masing 0,5 gram dan 0,58 gram per kilometer. Untuk mobil konvensional, maksimum kadar etanol dalam campuran gasohol adalah 24%.
Bioetanol merupakan komoditas yang menjanjikan bagi Indonesia. Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan cerahnya prospek pengembangan bioetanol. Faktor-faktor itu antara lain adalah :
1. Kebutuhan energi yang tinggi dengan daya beli yang kecil dari masyarakat,
2. mudahnya mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah,
3. ketersediaan lahan yang relatif memadai.
Kebutuhan energi yang tinggi dengan daya beli masyarakat Indonesia yang rendah dapat diatasi dengan penggunaan bioetanol. Hal ini karena pada kondisi harga minyak mentah saat ini biaya produksi bioetanol cenderung lebih murah bila dibandingkan dengan bensin. Biaya produksi bioetanol sangat dipengaruhi oleh bahan bakar yang digunakan dalam proses produksinya.
Brazil merupakan negara yang mampu memproduksi bioetanol dengan harga termurah. Ini karena listrik dan steam yang digunakan dalam proses dapat dipenuhi melalui pembakaran ampas tebu, sehingga biaya produksinya cuma separuh harga bensin.Di lain pihak, dengan produktifitas rata-rata bioetanol 5.000 liter/ha per- tahun, jika diasumsikan konsumsi seluruh bensin sebesar 16 juta kilo per-tahun dapat diproduksi dengan budidaya bahan baku seluas 3,2 juta hektar saja (1,7% dari luas daratan Indonesia). Jika dalam waktu dekat ini, bahan baku serat selulosa (jerami dan sejenisnya) dapat bersaing dengan pati-patian dan gula, jumlah lahan yang digunakan menjadi lebih sedikit. Selain itu, di Indonesia dengan lautnya yang luas berpotensi dibudidayakan ganggang laut yang juga dapat menjadi bahan baku bioetanol.
Prospek bisnis
Dilihat dari segi bisnis, bioetanol mempunyai prospek yang bagus. Sebagai gambaran, biaya investasi kilang bioetanol kapasitas 100 kL/hari berkisar antara Rp 2-3 milyar per-kiloliternya. Dengan harga etanol yang dihitung sama dengan bensin saja, pembangunan 1 pabrik ukuran ini akan menghemat devisa untuk impor bensin sebesar 33.000 kL/tahun x Rp 5.450,- /liter atau Rp 179.850.000.000,-. Dari sudut pandang pemerintah, penggunaan bioetanol juga sangat menguntungkan. Dengan asumsi subsidi untuk BBM Rp 89.2 triliun dan seperempat BBM kita adalah bensin, maka diperoleh angka Rp 22,3 triliun yang dapat digunakan untuk membangun pabrik bioetanol 89 buah @ kapasitas 100 kL/hari. Bioetanol yang dihasilkan adalah 2.937.000 kL/tahun atau mensubsitusi hampir 20 % kebutuhan bensin di tanah air dengan penghematan devisa Rp 89,2 triliun. Ini nantinya akan berdampak pada tersedianya lapangan pekerjaan besar-besaran bagi masyarkat, terutama karyawan pabrik maupun petani.
Butuh kebijaksanaan pemakaian
Terlepas dari analisa bagusnya prospek pengembangan bioetanol, masyarakat, pelaku bisnis dan pemerintah diwajibkan untuk bijaksana dalam mengambil langkah. Selain kebaikan-kebaikan yang telah dipaparkan ternyata pengembangan bioetanol disinyalir mempunyai kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain adalah: 1. penggunaan karbohidrat yang besar berpotensi untuk menyaingi kebutuhan makanan pokok, 2. berpotensi menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati melalui monokultur bahan baku berikut praktek-praktek pertanian yang merusak kualitas lahan, 3. penggunaan lahan yang besar berpotensi terhadap pembukaan lahan (sangat mungkin hutan).Melihat beberapa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki bioetanol, agaknya memang sudah saatnya Indonesia menggunakan bioetanol, dengan syarat dibarengi dengan perundang-undangan yang baik serta pengembangan teknologi yang sepadan. Pada masa yang akan datang diharapkan bahan baku bioetanol lebih banyak berasal dari selulosa (misal tahi kayu hasil penggergajian) maupun ganggang, karena tidak berpotensi bersaing dengan kebutuhan pangan pokok serta tidak memerlukan pembukaan lahan yang besar di daratan.
DAFTAR PUSTAKA
http://agribisnis.deptan.go.id/xplore/files/PENGOLAHAN-HASIL/BioEnergi-Lingkungan/BioEnergi-Perdesaan/BIOFUEL/Bioetanol/Bioethanol.pdf
http://www.bentara-online.com/main//index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2458
http://www.ipb.ac.id/lombaartikel/pendaftaran/uploads/s1/teknologi-dan-energi/artikel_ilmiah_bioetanol.pdf
informasinya bagus kak menambah wawasan
BalasHapusElever Agency